Kamis, 08 Januari 2015

Sastra Piwulang


Serat Tripama Karya KGPAA Mangku Negara IV

Bait I
Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anulada
duk ing nguni caritane
andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lalabuhanipun kang ginelung triprakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama”
Sebaiknya kalian para prajurit, jika bisa meneladani, pada waktu dahulu ceritanya, senopati andalan Sang Prabu Harjuno Sasrabahu di Maespati, seorang patih bernama Suwanda, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, kesetiaannya, yang mencakup tiga perkara.
Pertama “Kepandaian (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.

Bait II
Lire lalabuhan triprakawis,
guna bisa sanes kareng karya,
binudi dadya unggule,
kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri,
amboyong putri damas katur ratunipun,
purune sampun tetela,
aprang tanding lan ditya Ngaka nagri,
Suwanda mati ngrana.
Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang.

Bait III
Wonten malih tuladan prayogi,
satriya guna nagri ing Ngalengka,
Sang Kumbakarna arane,
tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami,
duk wiwit prang Ngalengka,
dennya darbe atur,
Mring raka amrih raharja.
Dasamuka tan kengguh ing aturyekti,
mengsah wanara.
Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.

Bait IV
Kumbakarna kinon mangsah jurit,
mring kang raka sira tan lenggana,
nglungguhi kasatriyane,
ing tekad datana suyud,
amung cipta labuh nagari,
lan noleh yayah rena nyang leluhuripun,
wus mukti haning Ngalengka mangke,
arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana”.

Kumbakarna diminta mengangkat senjata, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera.

Bait V
Wonten malih kinarya palupi,
Suryaputra narpati Ngawangga,
lan Pandawa tur kadange
len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati,
nagri Ngastina kinarya gul agul,
manggala golonganing prang,
Bratayuda ingadeken sepopati,
ngalaga ing Kurawa.

Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

Bait VI
Den mungsuhken kadange pribadi,
aprang tanding lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
dene nggenira pikantuk marga denya arsa males sih-
ira Sang Duryudana marmanta kalangkung,
denya ngetok kasudirane,
aprang rame Karna mati jinemparing,
sembaga wiratama.

Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama.

Bait VII
Katri mangka sudarsaneng jawi,
pantes agung kang para prawira,
amirata sakadare,
ing lelabuhanipun,
hawya kongsi buang palupi,
manawa tibeng nista,
ina estinipun senadyan tekading budya,
tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman.

Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar