TRADISI MITONI
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus
hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata
mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) + ’7′ (pitu)
yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni
ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan
ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam
kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu
siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami,
ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe atau lilitan
benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong
endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana
untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa
upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain
itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat
yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan
adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang
bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih
hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk
upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat
siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari.
Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu
tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat
sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi.
Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara
mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai
luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun
atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini
lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan
upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada
upacara mitoni adalah:
1. Sungkeman
Upacara mitoni diawali dengan
upacara sungkeman. Sungkeman dilakukan pertama-tama oleh calon ibu kepada calon
ayah (suaminya). Kemudian, calon ibu dan ayah, melakukan sungkeman kepada kedua
pasang orang tua mereka. Intinya adalah memohon doa restu agar proses kehamilan
dan kelahiran kelak berjalan dengan lancar dan selamat.
2. Siraman
Siraman atau mandi merupakan simbol
upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa.
Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa
sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral
sehingga proses kelahirannya menjadi lancar.
3. Pecah Telur
Setelah siraman, calon ayah
melakukan upacara pecah telur. 1 butir telur ayam kampung yang sebelumnya
ditempelkan ke dahi dan perut calon ibu, dan kemudian dibanting ke lantai.
Telur tersebut harus pecah, sebagai perlambang proses persalinan nanti dapat
berjalan dengan lancar tanpa aral melintang. Dari referensi yang saya baca, ada
juga yang dengan cara memasukkan telur tersebut ke dalam kain calon ibu.
4. Memutus Lawe/benang/janur
Berikutnya, masih di tempat siraman
berlangsung, adalah upacara memutuskan lawe/benang/janur. Lawe atau Janur
diikatkan ke perut calon ibu, kemudian calon ayah memutuskan lilitan tersebut.
Maknanya juga agar proses persalinan berjalan lancar dan tidak ada halangan.
5. Brojolan
Yaitu memasukkan kelapa gading muda
(kelapa cengkir) yang telah dilukis Kamajaya dan Dewi Ratih. Calon ibu
dipakaikan sarung (longgar saja). Bagian pinggir sarung, agar tetap longgar,
dipegang oleh kedua calon kakek, masing-masing di sebelah kiri dan kanan.
Kemudian sang calon ayah memasukkan satu kelapa cengkir tersebut dari atas, dan siap
diterima oleh salah satu calon nenek (misalnya diawali oleh calon nenek dari
pihak calon ibu). Hal ini dilakukan 3 kali berturut-turut. Setelah itu, diikuti
dengan proses yang sama dengan kelapa cengkir kedua, dan diterima oleh calon
nenek lainnya (calon nenek dari pihak calon ayah).
Calon nenek menerima kelapa
tersebut sambil membawa selendang, dan merek kemudian menggendong kelapa
tersebut (seperti menggendong bayi) dan membawanya ke kamar tidur. Kelapa
tersebut kemudian ditidurkan di atas tempat tidur, seperti menidurkan bayi.
Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa
kesulitan.
6. Pecah Kelapa
Selanjutnya, calon ayah mengambil
salah satu kelapa tersebut. Mengambilnya dengan dengan mata tertutup, sehingga
ia tidak tahu kelapa yang melambangkan perempuan atau laki-laki yang diambil.
Kelapa diambil dan ditempatkan di area siraman, untuk kemudian dipecahkan. Hal
ini melambangkan perkiraan jenis kelamin calon bayi tersebut.
7. Ganti Busana
Setelah calon ibu dikeringkan dan ganti dengan pakaian
kering, dilakukan acara selanjutnya, yaitu upacara ganti busana. Akan terdapat
7 kali ganti pakaian, yang berupa ganti kain dan kebaya. Kain dalam tujuh motif
melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan
bagi si anak kelak kalau sudah lahir. Kain yang digunakan terdapat 7 macam,
dimulai dengan urutan dan makna sebagai berikut:
1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan)
1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan)
2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan)
3. parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
4. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang
sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selama-lamanya/tidak
terceraikan),
5. udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam
masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
6. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
6. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
7. Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik
bermotif lasem (melambangkan kain yang walaupun sederhana tapi pembuatannya
sulit, membutuhkan kesabaran karena dibuatnya dari lembar per lembar benang.
Melambangkan kesederhanaan cinta kasih orang tua kepada anaknya).
Kain-kain yang dipakaikan tadi,
setelah diganti dengan kain berikutnya, diletakkan di bawah kaki calon ibu,
sehingga lama kelamaan menumpuk dan melingkari kaki calon ibu. Setelah selesai
dengan pakaian ke-7, calon ayah membantu mendudukkan calon ibu di atas tumpukan
kain tersebut, sehingga tampak seperti ‘ayam mengerami telurnya’, yang
melambangkan sang calon ibu menjaga dan memelihara calon bayi dalam
kandungannya.
8. Jualan Cendol & Rujak
Selanjutnya adalah upacara jualan
rujak dan cendol (dawet) oleh sang calon ayah dan calon ibu. Calon ayah membawa
payung untuk memayungi calon ibu saat berjualan, sementara calon ibu membawa
wadah untuk menampung uang hasil jualan tersebut. Uang yang digunakan adalah
uang koin yang terbuat dari tanah liat (kreweng). Sang calon ayah menerima uang
tersebut dari pembeli untuk dimasukkan dalam wadah tersebut dan sang calon ibu
melayani para pembeli.
Rujak yang merupakan rujak serut
tersebut juga dibuat dari 7 macam buah-buahan. Calon ibu yang meracik sendiri
bumbu rujaknya, melambangkan apabila rasanya kurang enak, anaknya adalah
lelaki, dan sebaliknya.
9. Potong Tumpeng
Acara diakhiri dengan upacara
potong tumpeng. Tumpeng yang juga merupakan sesajen dalam upacara mitoni ini.
Tumpeng isinya berupa tumpeng terbuat dari nasi, satu tumpeng besar di
tengah-tengah dan 6 tumpeng kecil di sekelilingnya, sehingga totalnya berjumlah
7 buah tumpeng. Sajen tumpeng juga bermakna sebagai pemujaan pada arwah leluhur
yang sudah tiada.
Selain itu, juga terdapat bubur 7
rupa. Bubur merah dan bubur putih dibuat dalam 2 wadah, yang satu bubur merah
dan diberi sedikit bubur putih di tengahnya, dan sebaliknya (melambangkan benih
pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir). Pada upacara
mitoni ini, bubur 7 rupa dilengkapi dengan bubur candil, bubur sum-sum, bubur
ketan hitam, dan lain sebagainya.
Makna Terdalam Upacara Mitoni
Kehamilan dipercaya merupakan fase di mana calon jabang
bayi sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya melalui perantaraan
sang ibu. Hubungan psikis antara ibu dan anak pun sudah mulai terjalin erat
mulai dari fase ini. Bagi masyarakat Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus
hidup seorang manusia. Oleh karena itu keberadaan si calon jabang bayi selalu
dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan ritual yang bernama mitoni.
Setelah melakukan serangkaian
upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama-sama
demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tak lupa setelah itu mereka akan diberi
berkat untuk dibawa pulang. Berkat itu biasanya berisi nasi lengkap beserta
lauk pauknya.
Lambang atau makna yang
terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara mitoni, yaitu
upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulan, memiliki
simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur
yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang
tinggi, di gunung-gunung.
2. Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan
wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
3. Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi
selalu dalam keadaan segar.
4. Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi
gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir
lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir
perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
5. Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang
dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran
bayi.
6. Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi
ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
7. Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung
mudah kelahirannya.
8. Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa
ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur
tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar