Cowongan Tradisi Banyumas
Adat istiadat adalah sebuah kebudayaan yang sudah menjadi tradisipada
setiap masyarakatyang sudah menjadi ketentuan daerah tersebut.Salah satucontoh
sebuah adat istiadatyang masih dilakukan pada sebuah daerah,yaitu adat yang
terjadi didaerah Banyumas.
Ada beberapa adat yang biasanya masih dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah
terutama daerah Banyumas ,contohnya cowongan adalah salah satu jenis ritual
atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan
sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan
melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan
dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan
penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi)
menuju ke bumi untuk menurunkan hujan.
Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber
hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia. Dilihat dari asal katanya,
cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa
Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang
diartikan berlepotan di bagian wajah (Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, dan
therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Sedangkan cowongan lebih bersifat
aktif (disengaja).
Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja
dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah irus
yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Salah satu daerah
yang hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau
panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas.
Daerah ini terletak di ujung sebelah timur dari kabupaten Banyumas, kurang
lebih 15 km di sebelah timur kota Banyumas, berbatasan dengan kabupaten
Banjarnegara dan berbatasan dengan kabupaten Purbalingga.
Di sebelah timur terdapat sungai kecil (kali Plana) yang menjadi
batas desa tersebut dengan desa Karangsalam, kecamatan Susukan, kabupaten
Banjarnegara. Sebelah utara dan barat dilingkari sungai serayu yang mejadi
batas kabupaten Banyumas dan kabupaten Banjarnegara. Walaupun letaknya dekat dengan
sungai, tetapi pada saat musim kemarau yang panjang, daerah ini sangat kering
dan air sangat sulit untuk di dapat. Apalagi sebagian besar masyarakat di desa
Plana bermata pencaharian sebagai petani.
Lahan-lahan yang digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan
kering berupa tegalan, serta tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau
datang lahan ini sangat kering dan petani tidak dapat menggarap sawah mereka.
Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera
turun hujan yang sangat berguna agar sumur-sumur dan sumber mata air keluar
lagi airnya, sawah dan ladang tidak lagi tandus, dan berbagai tanaman bersemi
kembali bagi kelangsungan hidup mereka.
Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya
ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam
kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam
Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas,
cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima
kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan
maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka
dilaksanakan sebanyak lima kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar