Serat
Centhini
Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh
sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana
IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk
Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau
1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi
mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait
awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning
pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah
keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam
serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris,
kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau
horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai
tanah Jawa dan lain-lainnya.
Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana
Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi
ia telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu
berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar”
yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi
yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan
bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat,
tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon
resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat
hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan
suatu tindakan “resistensi”. Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan
sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan
Jawa dari penetrasi luar.
Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai
cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih
berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi
kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu,
dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami
“politisasi” dalam menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung “puritan”
dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini
(Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan
ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri
Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri
berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena
kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi,
Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua
santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan “perjalanan spiritual” ke
sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara,
hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug
Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran,
Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung
Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti
mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru,
tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam
keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar
mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari
candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk
pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke
kisah Syeh Siti Jenar.
Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi
oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung
Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan,
Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi,
terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung
Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan
mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana,
pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak
bertakik-takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya,
sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia,
serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang
dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah
dalam Serat Centhini ini untuk “menerangkan” secara menyeluruh “dunia dalam”
orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk
untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa “plausible” dan bermakna buat orang-orang
Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam “bermakna” dalam konteks
tatanan kosmik mereka.
Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh
ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang
“ortodoks” bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang
ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja,
tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu
dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan
begitu saja secara “sinkretik”, seolah antara alam “monoteisme” dengan
“paganisme”/”animisme” Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.
Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam
memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang “membebani”
unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua
dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja
diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat.
Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh
serat ini) melakukan “resistensi” (atau “domestifikasi”, dalam istilah Benda)
atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam
sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah “efek ikonoklastik”
atas kepercayaan setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar